Sejarah Pengadilan
SEKILAS DARI PENGADILAN AGAMA KE MAHKAMAH SYAR’IYAH
Di era reformasi, semangat dan keinginan untuk melaksanakan syari’at Islam kembali menggema dikalangan rakyat Aceh, disamping tuntutan referendum yang juga disuarakan oleh sebahagian generasi muda pada waktu itu.
Para Ulama dan Cendikiawan muslim semakin intensif menuntut kepada Pemerintah Pusat, agar dalam rangka mengisi keistimewaan Aceh dan mengangkat kembali martabat rakyat Aceh supaya diizinkan dapat menjalankan Syari’at Islam dalam segala aspek kehidupan. Perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan lahirnya Undang-undang yang sangat penting dan fundanmental, yaitu : Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Masyarakat Aceh menyambut baik lahirnya Undang-undang tersebut dengan penuh rasa syukur. Selanjutnya Pemerintah Daerah bersama DPRD pada saat itu, bergegas melahirkan beberapa peraturan daerah sebagai penjabaran dari keistimewaan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut yang dapat mewarnai secara nyata Keistimewaan Aceh yang sudah lama dinanti-nantikan, antara lain :
- PERDA Nomor 3 Tahun 2000 tentang pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU);
- PERDA Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam;
- PERDA Nomor 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan ;
- PERDA Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat ;
Pada tahun 2001 Pemerintah Pusat kembali mengabulkan keinginan rakyat Aceh mendapatkan Otonomi Khusus melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara pada tanggal 9 Agustus 2001. Lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 ini terkait erat dan melengkapi Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistemewaan Aceh, yaitu dalam upaya membuka jalan bagi pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat di bumi Serambi Mekah.
Salah satu amanat dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut adalah diberikan peluang dan hak bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk membentuk Peradilan Syari’at Islam, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional (Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001).
Menyahuti kelahiran Undang-undang tersebut, Pemerintah Daerah melalui SK Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam telah membentuk beberapa tim yang bertugas menyusun Rancangan Qanun (sekitar 27 Qanun) sebagai aturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001. Salah satu diantaranya adalah tim Penyusun Qanun Pelaksanaan Syari’at Islam yang dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (kemudian berubah namanya menjadi MPU), Dr Muslim Ibrahim, M.A.
Tim tersebut dibagi lagi kepada beberapa sub tim antara lain :
- Tim Rancangan Qanun tentang Mahkamah Syar’iyah, diketuai oleh Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH.
- Tim Rancangan Qanun tentang Pelaksanaan Syari’at Islam dibidang ibadah dan syi’ar Islam, dipimpin oleh Dr. H. Muslim Ibrahim, M.A.
- Tim Rancangan Qanun tentang Baitul Mal dipimpinn oleh Prof. Dr. H. Iskandar Usman, M. A.
Tim Penyusun Rancangan Qanun Mahkamah Syar’iyah berhasil melaksanakan tugasnya dalam waktu kurang dari 2 (dua) bulan, dan setelah melakukan expose di hadapan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam bersama Tim-Tim lainnya, akhirnya Rancangan Qanun tersebut ditetapkan dengan judul : Rancangan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ”Tentang Peradilan Syari’at Islam”, yang terdiri dari 7 Bab dan 60 Pasal. Setelah disempurnakan, Rancangan Qanun diserahkan kepada Gubernur melalui Kepala Biro Hukum untuk diteruskan ke DPRD Nangggroe Aceh Darussalam. Selanjutnya pada tanggal 19 November 2001 Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyampaikan Rancangan Qanun Peradilan Syari’at Islam tersebut bersama Rancangan Qanun lainya kepada DPRD Nanggroe Aceh Darussalam.